Sabtu, Februari 07, 2015

Dimana Rumahmu Nak?

Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu, nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu, nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia, nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu, nak, tanpa pernah ibu berpikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.


Anakku, kita memang berada di satu atap, nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu, nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu.

Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau enggan, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu, nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasihat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau, nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk, nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya, nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini, nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu, nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu, nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang, nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga, nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga, nak? 

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat, nak, ada rapat di sana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana. Ternyata memang tak ada, nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal, nak, andai engkau tahu sejak kau ada di rahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya, nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu? Di mana profesionalitasmu untuk keluarga? Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah, waktumu terlalu mahal, nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu.”
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai. 

Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari rida orang tua atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena tanpa ridhanya, mustahil kita peroleh ridha-Nya.

PS : Membaca status teman saya Raffi Imam Fauzan dari Facebook membuat saya sadar, bahwa waktu yang kita miliki dengan orang-orang di sekeliling kita sekarang sangatlah berharga. Kita tidak akan tahu kapan Tuhan akan menarik mereka yang sangat menginginkan keberadaanmu disekitarnya. Kau akan tahu sampai Tuhan mengambil mereka satu per satu dari sekelilingmu, kemudian kau akan terjingkat kaget bahwa kau telah membuang waktu berharga yang Tuhan berikan. Ada hal ibu pernah pesankan pada saya, 

"Teman itu hanya sementara yang selamanya itu saudara. Yang bakal dicari-cari selawase bahkan pas kamu mati, ya saudara. Jadi rukun-rukun sama saudaramu, An."


Menjadi aktivis bukan berarti kamu menghilangkan 'rumahmu', karena rumah adalah sebaik-baik tempat kembali untuk kamu mengingat lagi siapa sesungguhnya kamu.