Selasa, Oktober 01, 2013

Hadiah Dari Timur #2 (Tahu Nenek)

09.22
Hari kedua,

Pagi itu masih sangat buta, hirup udara pengap terasa sangat menyesakkan di dada. Yah, ternyata dari asap obat nyamuk bakar yang semalaman sudah kami sulut dan tinggal berapa bagian saja yang belum terbakar kala itu. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Dingin tidak terlalu, tapi nenek Ali sudah tergesa rupanya untuk segera mengangkut tahu-tahu yang akan dijajakkannya di pasar. Jam tiga sudah terlalu siang untuk menuju ke pasar. Wah, pagi itu nenek Ali bangun terlalu siang. Saya bergegas, berberes ingin ikut si nenek ke pasar. Silvi masih tertidur pulas di samping saya. Kaos berwarna merah berlengan panjang yang saya cari yang bertuliskan AMBALAN GANESHA. Yah, akhirnya kaos itu sudah melekat pada tubuh kurus ini. 

Bersama cucu laki-laki nenek Ali yang pertama, saya dan nenek Ali menggotong bakul yang berisi tahu yang jika ditimbang beratnya, sekitar 50 kg. Menuju tepian jalan untuk menunggu mobil pick up yang nantinya mengangkut kami sampai ke pasar. Tiga puluh menit kemudian si mobil datang, segeralah kami ke pasar dengan dingin yang membatu, diangkut mobil tanpa bahu. Cucu nenek Ali yang duduk de kelas empat SD ikut kami. Karena saat itu adalah hari libur semester juga.

Asik sekali rasanya. Pengalaman baru, yang saya rasakan di hari libur semester satu kala itu. Sesampainya di pasar, tidak ada yang membantu kami (saya dan nenek Ali) menurunkan muatan. Jadilah kami wanita perkasa kala itu. Mengangkat dua bakul yang masing-masing berisi sekitar 50 kg. 

Kami masuk area pasar, wah, memang benar, ruih suara tawar-menawar sudah terdengar di gendang telinga. Pasar sudah ramai pemirsa. Kami terlambat. Tapi tak apa, untung saja nenek Ali sudah punya tempat yang memang sudah disewanya untuk berjualan jadi kami tidak harus mencari tempat lagi. Dan tidak perlu ketakukan tidak kebagian tempat untuk berdagang. Tempatnya bukan kios bertembok, hanya ada dipan / amben yang berbentuk persegi panjnag berukuran sekitar 2.5 x 1.5 meter saja. Ditengahnya ada lubang untuk tempat si penjual. 

Nenek Ali pergi sebentar ke kios temannya yang lain. Saya dipasrahkan untuk menjual tahu nenek. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membungkus tahu-tahu. Tahu kecil (kulit cokelat) dibungkus dengan isi 10/pack. Tahu kuning dan putih yang ukurannya lebih besar di pack dengan isi 5/pack. Setiap pack dijual Rp2000,00, entah itu sudah bisa menutup modal nenek atau belum. Jika tahu tidak habis, sisanya dibawa pulang untuk dikonsumsi sendiri.

Tidak lama, ada seorang ibu membawakan saya teh hangat. "Sudah dibayar nenek Ali" katanya. "Niki pintenan, Bu?" 

Ternyata harga teh itu hanya seribu rupiah. Cukup mengusir dingin kala itu. Selang beberapa waktu nenek dan cucunya kembali dengan membawa jajanan pasar semacam bolu jika diimplementasikan semacam dorayakinya Doraemon. Saya tergiur, dan minta ditemani si cucu ke tempat membeli kue bolu itu. 

Ibu-ibu tak berjilbab, sigap dan cekatan menuangkan adonan ke dalam wajan pemanggang itu. Dibaliknya kue itu, ala chef-chef profesional di hotel berbintang. 

"Kulo tumbas kalih mawon, Bu."

Eeem, yummmy sekali pagi itu. Segelas teh hangat dengan dorayaki-dorayakian. Sambil menunggu pembeli yang berlalu lalang. Ternyata pelanggan tahu nenek Ali cukup banyak. Baru beberapa menit saja, kita harus nge-pack lagi. 

Hingga akhirnya, adzan Subuh berkumandang. Aneh. Mereka tetap bertransaksi. Adzan seperti hanya berlalu saja di telinga mereka. Seperti suara kendaraan yang lewat kemudian pergi. Tidak ada yang menghiraukan. Saya pamit ke nenek untuk sholat Subuh. Tapi, si nenek sedang berbelanja untuk kebutuhan masak hari itu. Saya tunggu nenek, tidak balik-balik. Saya tunggu. Akhirya setengah enam nenek balik. Saya langsung ngiprit mau sholat. Dan parahya, saya lupa tanya masjid dimana. Saya tanyakan kepada orang-orang yang lalu lalang disekitar itu. Mana masjid Bu? Aneh tidak ada yang tahu. Saya melihat ada kubah dan pasti itu masjid, tapi arah jalannya kemana. Akhirnya saya masih dipertemukan dengan orang yang tahu arah masjid. Alhamdulillah, segar air wudhu menyapu wajah saya yang belum mandi kala itu. Saya pun sholat Subuh di  masjid pasar, jam stengah enam, di pengabdian, di desa orang.

bersambung...

( https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRQrTa9epxpA-Fw2lNWQmaWegCdzy2aaMHGhnlhv9hWbxzN_S4r )


Kisah 01 Oktober

08.39
Hari ini, tepat di ujung awal bulan Oktober. Kejadian yang belum pernah terbayangkan sebelumnya sama sekali. 

Hari ini, adalah hari pertama jam olahraga kami digeser hari Selasa. Sebelumnya hari Jumat, dengan dalil agar hari Jumat menjadi hari free dan surga bagi anak-anak kos untuk pulang kampung. 

Hari ini lain dari hari yang lain, apa yang dipikiran Anda? 1 Oktober adalah hari Kesaktian Pancasila, Hari Ulangtahun Undip ke-56. Atau apa lagi? Memang itu sema benar. Tapi yang paling mengesankan di hari pertama bulan Oktober tahun ini adalah hari kesakitan bagi kami. 

Kami mencoba membela suatu kebenaran yang mutlak. Banyak anak dengan berbagai macam warna trining duduk di emperan-emperan stadion, bingung sesampainya saya di stadion. Olahraga pagi ini, kami terkunci dan tidak diperkenankan masuk ke dalam stadion karena telat 5 menit. Apa? Yang langsung terbesit dalam pikiran adalah walaah absennya gimana ini? Otomatis kalau kami tidak masuk, kami tidak akan mendapatkan absen dan dianggap "alpa". 

Selang beberapa saat, ada seorang wanita meggunakan sepeda motornya pakaiannya beda dengan kami, seragam yang dia kenakan beda dengan kami. 
Lali kami amati gerak-geriknya, dan yak! Diperbolehkanlah dia masuk. (Apa-apaan) 
Wah, kami membuncah dan minta keadilan, "Kok Dosen boleh masuk mahasiswa tidak boleh masuk?"

"Pak, buka pintunya Pak"

"Pak, kami ingin olahraga Pak"

"Pak, kami membayar Pak"

Muncul kata-kata cletukan dari mulut-mulut mahasiswa yang merasa diperlakukan tidak adil. Selain kata-kata diatas masih banyak juga kata-kata lain.

Beberapa menit setelah itu, kami mencari akal agar dapat masuk ke stadion, banyak pohon yang menghubungkan dengan tembuk stadion yang tinggi-tinggi. Bisa dengan mudah kami memasuki stadion. Tapi, tidak berhasil, tembok terlalu tinggi besar.

Beberapa anak menemukan jalan pintu samping yang menghubungkan dengan stadion, tapi arealnya susah. Kami harus seahli cicak supaya bisa masuk. Karena disana hanya ada sisi tangga yang bercelah sangat kecil yang hanya bisa dilalui oleh orang yang bertubuh sangat amat kurus banget.
Tidak mungkin saya bisa melalui itu. Kami harus mengangkat tubuh kami, menjadikan tangan kami tumpuan untuk badan kami. Sementara saya, dengan posisi badan seperti ini tidak mungkin bisa masuk. Beberapa teman kami berhasil masuk untuk menyanyakan KEADILAN. Tapi, alhasil kami yang berhasil masuk dikira maling yang masuk ke rumah orang tanpa izin.

Kalau menurut saya, itu sah-sah saja. Kami membayar untuk fasilitas gedung tersebut kok. UKT LOH! UKT golongan V lagi. Setahu saya, ketika saya masih menjadi bagian dari mahasiswa, saya punya hak yang sama atas kepemilikan dan penggunaan gedung. Tapi ya, kenyataan seperti itu. Kami disangka maling di rumah sendiri.

Mungkin memang salah kami, datang sedikit lebih siang dari pada yang lain. Tapi kalau saya pulang ke rumah saya, jam berapa pun orang tua saya tidak akan membiarkan saya kedinginan di luar bangunan rumah. Hari ini, menjadi pelajaran bagi kami, agar kami lebih mencintai waktu, agar dia bisa bersahabat dengan kami. Dan mungkin mencintai Stadion kami sepertinya. Agar dia mau membukakan pintu bagi kami yang telat. Karena menurut saya lagi, olahraga seharusnya tidak menjadi suatu mata kuliah yang mengekang, seharusnya menjadi matkul refreshing untuk menghilangkan kepenatan di matkul yang lain. Terimakasih.


Di Hari Kesaktian Pancasila ini, di Hari Ultah UNDIP ke 56 ini. Mari kita teriakan! 
HIDUP MAHASISWA! *kepal & angkat tangan kiri*

(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqAU9Vh7vp-79XLIfBjJ8LiOXrdx69wAj7b9ACrlY18xrR4v9Fqk9fCk_39I8nY4WrhJOHpXFpnPJn-iuS1D_Xhx-ja0L6tlbKLDxa9M44IWPt-Tc4uRZYwMDpXhd7ApLDDOFnGFiRJdE/s1600/gerakan+mahasiswa.jpg)

Kami bukan pemberontak, kami hanya sebagian kecil dari agent of change. Perjuangkan hak kami.