Senin, Februari 09, 2015

SURAT UNTUK BAPAK #1

05.26
Semarang, 9 Februari 2015
Assalamu ‘alaikum warahmatullohi wabarakatuh

Rasanya bingung mau mulai darimana. Iya, mungkin dari rindu. Sekarang aku benar-benar sedang rindu sosok laki-laki itu. Iya cinta pertamaku yang baru aku sadari cintanya beberapa tahun belakang ini.

Bapak, bapak apa kabar? Anis kangen sanget kalih bapak. Bahkan rindu ini tak sampai hati untuk tersampaikan. Saking rindunya sampai tak terucapkan. Memasuki bulan ini, bulan kedua, mungkin ini kali pertama dimana aku akan menyampaikan selamat ulang tahun pada Bapak. Jujur selama ini, kami sekeluarga memang jarang sekali merayakan momentum hari kelahiran. Bapak itu orangnya pelupa, susah kalau ngingat-ngingat sesuatu. Bahkan tanggal pernikahan saja bapak susah ingat. Tapi ada hal lain dibalik tanggal kelahiran kami. (aku, Lutfiah dan Fauzan).
Ini sesuatu yang luarbiasa buat kami, terutama aku. Meski dihari jadi kami Bapak jarang mengucapkan selamat ulangtahun kepada kami bertiga, jangankan berharap ada kue saat ulangtahun atau kado spesial. Kami memang baaru akhir-akhir ini sering merayakan hari jadi, dari dulu tidak. Meskipun suka lupa hari, tapi bapak selalu ingat dan tidak akan melupakan hari lahir kami.

Sudah 20 tahun kurang lebih bapak melihat aku tumbuh menjadi orang yang secara usia bisa dibilang DEWASA. Sudah setua itu pula Bapak menjagaku. Apa iya, harus menunggu momen usia bapak 54 tahun? Iya. Harus sekarang, karena belum pernah sebelumnya aku mengucapkan selamat hari lahir kepada bapak. Jujur saja.

Bapak, beliau adalah orang yang tertawanya tidak pernah terbahak-bahak. Bahkan tertawa pun beliau tidak pernah bersuara. Itu yang meneduhkan kami. Kata ibu kepadaku waktu itu.

Tertawanya tidak berlebihan, marahnya pun tidak berlebihan, sedihnya juga tidak pernah nampak dihadapan kami berempat.

Orang yang paling bisa meredam amarah ketika api tersulut antara aku dan ibu, yang aku akui kami sama-sama masih suka kekanak-kanakan dan emosian.

bersambung...

Sabtu, Februari 07, 2015

Dimana Rumahmu Nak?

23.15
Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu, nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu, nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia, nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu, nak, tanpa pernah ibu berpikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.


Anakku, kita memang berada di satu atap, nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini di manakah rumahmu, nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu.

Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau enggan, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu, nak, ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasihat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau, nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk, nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya, nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini, nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu, nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu, nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang, nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga, nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga, nak? 

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat, nak, ada rapat di sana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana. Ternyata memang tak ada, nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal, nak, andai engkau tahu sejak kau ada di rahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya, nak, di mana profesionalitasmu untuk ibu? Di mana profesionalitasmu untuk keluarga? Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah, waktumu terlalu mahal, nak. Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu.”
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai. 

Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari rida orang tua atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena tanpa ridhanya, mustahil kita peroleh ridha-Nya.

PS : Membaca status teman saya Raffi Imam Fauzan dari Facebook membuat saya sadar, bahwa waktu yang kita miliki dengan orang-orang di sekeliling kita sekarang sangatlah berharga. Kita tidak akan tahu kapan Tuhan akan menarik mereka yang sangat menginginkan keberadaanmu disekitarnya. Kau akan tahu sampai Tuhan mengambil mereka satu per satu dari sekelilingmu, kemudian kau akan terjingkat kaget bahwa kau telah membuang waktu berharga yang Tuhan berikan. Ada hal ibu pernah pesankan pada saya, 

"Teman itu hanya sementara yang selamanya itu saudara. Yang bakal dicari-cari selawase bahkan pas kamu mati, ya saudara. Jadi rukun-rukun sama saudaramu, An."


Menjadi aktivis bukan berarti kamu menghilangkan 'rumahmu', karena rumah adalah sebaik-baik tempat kembali untuk kamu mengingat lagi siapa sesungguhnya kamu.

Jumat, Februari 06, 2015

Bulan Kering

08.43

                  source : (www.digitalcameraworld.com)

Merindukan basahnya hujan pegunungan
Melembabkan semua perasaan kering yang gusar
Merintih pada alam, untuk menitipkan salam pada awan
Agar hujan yang menyenangkan kembali datang


Akan sangat merindukan panasnya kopi di samping perapian
Tidur berbalut dinginnya embun dibawah pinus berduri
Melamun dalam mimpi yang hangat, 
tanpa terganggu bising sinar mentari diluar
Dingin menghangatkan mimpi untuk berayun dalam bawah sadar 

Maret tanpa hujan, embun, nikmat kopi panas, dan perapian
Kemudian April, April dengan segala kenangan
Bulan-bulan kering yang menghabiskan air mata
Mata kering, tanah kering, hati kering 
Tak akan ada apapun tumbuh subur disana
Karena itu kekeringan selalu merindukan rindu, yang jatuh dari setiap tetes hujan
Akan datang bulan yang nyaris tanpa rindu, hanya debu

Teruntuk April-Maret yang terkenang, Jumat, 6 Februari 2015 pukul 08.23 WIB 

Kamis, Februari 05, 2015

[POTONGAN]

21.20
Sept 29th, 2014

“Gue merindukan masa itu lagi, masa SMP. Pada saat itu otak gue masih pure bersih ala bocah yang belum terkontaminasi apa-apa. Semua pengetahuan gue serap. Gue rindu saat itu, saat setiap hari gue bolak-balik perpus sekolah pinjam buku (novel lebih tetpatnya) buat gue lahap hari itu juga dalam jangka waktu yang engga perlu lama-lama juga gue mbacanya. Gue suka banget bawa novel-novel itu ke rumah kedua gue waktu SMP. Rumah yang gue tempatin selama kurang lebih satu tahun, di tahun akhir gue ada di sekolah menengah. Banyak banget kenangan yang engga bisa gue hapus dari perjalanan satu tahun itu.
Kebiasaan gue ketika sore datang adalah kabur ke loteng rumah bawa banyak buku dan ngabisin lembar demi lembar buku yang udah gue pinjem dari perpus sekolah, pantat gue hangat meski duduk tanpa alas. Panas matahari siang hari yang membakar lantai loteng ternyata masih nyisain panasnya sampe setiap sore gue dateng. Gue suka liat langit senja disana, dari view itu, dia selalu tampil beda setiap sorenya. Kadang langit mengguratkan warna orange yang dominan di langit barat, kadang matahari terlihat kayak mau terbit tapi itu ada di barat. Terkadang biru sama orange jadi satu dalam balutan lembut awan. Sumpah itu keren banget. Setiap kata dari novel yang gue baca seolah hidup dan nari-nari di alam bawah sadar gue. Senja itu sama, tapi dia selalu bisa muncul beda. Kadang gue mikir, palsu banget ya dia. Tapi sayangnya dia indah di setiap kemunculannya, jadi gue engga pernah bisa engga jatuh cinta sama dia.
Itu kebiasaan lama yang udah gue tinggalin sejak gue masuk dunia tingkat atas yang udah BEDA BANGET. Abis itu pasti Mbah Iyam nyariin gue, teriak-teriak berasa ada anak ayam satu yang belom balik kandangnya. Mbah Iyam takut gue digondol Kuntilanak katanya. Jujur terkadang gue rindu saat itu. Gue juga rindu, cerita-cerita yang gue lukis sama Zidane satu tahun itu.”

Potongan diary yang ditulis Emil beberapa tahun silam tak sengaja terbuka dan mengingatkan lagi akan Zidane yang menjadi tokoh utama pada setiap lembar tulisan yang mengotori notes putih milik Emil, menjadi setiap kamu yang emil sebut dalam hati dan tulisannya, menjadi setiap hangat saat Emil merasa dingin.
***


Ditulis untuk sebuah mimpi yang harus diwujudkan. Rabu, 5 Februari 2015 pukul 12.06 WIB

Rindu dan Perindu

09.33
"Karena merindukan orang yang sebenarnya sudah tak disamping kita, itu lebih menyakitkan"



c0nsumed.tumblr.com

Lalu kenapa setelah melepaskannya pergi, justru rindu itu selalu datang dan bertambah selalu bertambah dan membuat hati percaya semua kan baik-baik saja antara kita berdua. 
Rindu yang tak terekspresikan justru menyimpan banyak hal yang orang lain tak rasakan. Kekuatan magis entah apa mendorong seorang perindu untuk bertahan dalam rasa sakit itu. Semuanya terlihat baik-baik saja, dan yakin akan ada suatu masa dimana rindu itu bertemu akan menjadi sangat indah, seperti debu-debu dalam tabung kembang api yang terbakar kemudian memuncrat ke udara menjadi guratan yang luar biasa indah dan membahagiakan setiap orang jika dilihatnya pada malam hari.

Mendengarkan lagu romantis, menonton film romantis, membaca buku tentang cinta sejati, melihat video clip lagu, melihat orang lain yang saling merindukan dalam kenyataan pada dunia nyata sering membuat perindu ini terdiam sejenak kemudian memperhatikan peristiwa itu. Lalu apa yang dilakukan sang perindu? Ya, dia hanya diam dan meyakinkan dirinya bahwa suatu saat akan terjadi pertemuan dua orang manusia itu. Meski yang datang bukan sosok yang selama ini ada dalam benaknya.


“Rindu menciptakan suatu kekuatan seperti kembang api, yang nantinya akan menjadi sangat indah saat terbakar di malam hari”

Lalu kapan si perindu ini akan menuntaskan kerinduannya dan menjadikannya percikan kembang api yang indah? Suatu saat, ketika masih ada kesempatan hidup baginya untuk bertemu siapa yang dia rindukan selama ini.


Jenis cinta seperti apa ini? Yang mampu bertahan dalam rasa sakit yang dalam dan kemudian membatu seperti karang, inikah jawaban bahwa dalam rasa luka yang mendalam justru kita akan menemukan siapa sesungguhnya diri kita, dan sekuat apa sesungguhnya hati ini menerima tekanan? Kapan akan berakhir? Hanya jika hati ini tak dapat lagi berfungsi untuk merindu lagi.

Rabu, 5 Februari 2015 pukul 09.12 WIB