Desember 1994
Peristiwa ini terjadi sembilan belas tahun yang lalu, pada Maghrib yang senjanya telah
hilang, pada sore yang kicau burungnya telah terkalahkan riuh air hujan dan
gelegarnya gemuruh. Seorang laki-laki tertunduk panik di salah satu pojokkan
ruang ibadah rumah sakit bersalin. Dia berdoa dan terus berdoa tanpa henti ia
bersua dengan Tuhannya meminta diberikan keselamatan pada istri dan calon
anaknya.
Selasa sore itu lahir kedunia seorang bayi merah, anak
perempuan yang ditunggu-tunggu kelahirannya oleh semua keluarga diharapkannya hadirnya di dunia setelah dari rahim si ibu gagal lahir seorang bayi laki-laki
sebelumnya. Dia adalah Aku.
Tepat setelah adzan Maghrib berkumandang, aku lahir kedunia
ini tanpa ada suatu cacat apapun. Kemudian ayah mengumandangkan adzan di
telinga kananku, dilanjutkan dengan iqamah di telinga kirinya. Disusul dengan
suara iqamah dari masjid terdekat waktu itu. Betapapun alam sangat indah
menyambut kelahiranku dibarengi dengan dua adzan dan dua iqamah sekaligus.
Aku
kecil sangat menjadi pusat perhatian banyak handai taulan. Aku kecil sangat
dijaga agar tak ada yang tergores sedikit pun kulitnya. Aku kecil sangat
menyita kasih sayang dari semua keluarga. Diberikan nama dengan arti sesosok wanita yang akan menjadi teman baik bagi semua orang dan membawa berkah. Mungkin karena
saking sangat diutamakannya dalam keluarga aku tumbuh dengan salah satu sifat
yang tidak ingin disaingi, direbut posisinya, dan cenderung sedikit egois. Semua
harus diutamakan.
Ayahku saat itu berusia 33 tahun saat memiliki aku, bisa
dibilang usia yang cukup terlambat baru memiliki satu orang anak. Ayah bukan tipe orang yang muluk-muluk
dalam hidupnya, dia tidak pernah meminta lebih dari yang Tuhan
kasih dia selalu menjalankan kehidupan sesuai garis Tuhan, lurus. Dia hanya berserah pada Tuhan dan memasrahkan segala yang akan terjadi esok padaNya. Ayah orang yang sangat taat kepada Tuhannya, sangat takut pada ibunya,
sangat hormat pada ayahnya, sangat banyak teman dimana-mana. Terkenal
sebagai orang yang mudah diajak bicara dari berbagai kalangan.
Dari ketujuh saudara itu,bisa dibilang ayahku adalah
orang yang paling dijadikan tonggak oleh saudara-saudaranya yang lain. Dalam hal
meminta bantuan mulai dari mencarikan sekolah untuk keponakan-keponakan (anak
dari adik dan kakak), membantu proses lamaran seseorang, mencarikan jodoh untuk
saudara, kebanyakan dari mereka mengutus ayah sebagai orang yang dipercaya. Walhasil,
mungkin itu yang membuat ayah punya banyak saudara karena beliau sangat senang
menolong orang lain.
Kehadiran aku cukup membuat perubahan dalam tatanan
keluarga mereka. Bagi keluarga ibuku, sangat senang menyambut cucu kedua dari
trah Sudharto. Karena mungkin faktor cucu pertama trah Soedharto berasal dari kakak
laki-laki ibu jadi lebih banyak diurus oleh keluarga istrinya. Aku kecil
menjadi sebuah mainan baru bagi seluruh keluarga ibu, mulai dari tante-tanteku
yang masih gadis-gadis, adik dari Mbah yang masih sangat muda pun ikut mengasuh
aku. Sebaliknya, kehadiranku dirumah Eyang (orangtua ayah), bukanlah hal yang
menggembirakan sama halnya di rumah asal ibu. Biasa saja. Mungkin karena
sebelumnya sudah ada bayi, bukan cucu yang pertama. Jadi ya, aku diperlakukan sama tatarannya dengan cucu-cucu yang lain.
Dua tahun sejak aku lahir, aku sering diboyong kesana
kemari dari rumah Mbah kerumah Eyang. Pada hari kerja biasanya aku kecil
tinggal dirumah Eyang, tetiba Sabtu malam kami bertiga (aku, ibu, ayah) tidur
di tempat Mbah. Kami bertiga harus diboyong ketempat Eyang setelah dua bulan
kelahiranku, karena di tempat Embah bukan tempat yang aman bagi kami terutama aku. Usut punya usut, kala itu banyak
lelaki yang tidak suka atas pernikahan ayah dan ibuku sehingga ada orang-orang
yang berusaha mencelakakan keluarga yang baru berumur sebiji jagung itu. Di
daerah asal ibu memang kejadian-kejadian macam itu masih sangat sering terjadi.
Ilmu-ilmu kesyirikan masih sangat kental menggerogoti pikiran-pikiran
masyarakatnya.
Lain halnya di tempat Eyang, semua orang hilir mudik pergi
mengaji aroma pesantren masih sangat kental, banyak orang pandai baca al quran,
banyak hafidz dan hafidzah, banyak yang belajar kitab-kitab tua. Atmosfer ke-Islam-an yang kental tidak lain karena dibawah bimbingan Sang Kyai yaitu Eyang Kakung sendiri Kyai Imam Turmudzi yang namanya
sudah tersohor di daerah kami. Seorang ulama besar berlatar belakang nahdliyin kental yang sangat patut terhadap agamanya, belajar berbagai macam jenis kitab, dan
menjadi salah satu guru besar di masanya.
***
Sudah sejak kecil
aku bukanlah bayi yang suka mengonsumsi susu sapi. Hanya susu jenis tertentu
dan ASI saja yang bisa dicerna oleh perutku. Lebih doyan air bening yang
dimasukkan kedalam botol bayi. Semenjak kejadian mati listrik waktu itu, ibu
semakin khawatir terhadapku. Bayi yang hanya bisa makan ASI dan air putih,
tepat di usia satu tahun. Waktu itu Maghrib, hujan petir seperti biasa. Iya
Desember. Kemudian listrik padam, ibu pun mendekap aku dan panik saat itu, ayah
sedang shalat Maghrib di masjid depan rumah Eyang. Setelah listrik padam,
kemudian aku menangis. Beberapa menit kemudian listrik menyala. Ibu berniat
memberikan ASI kepada aku, saat itu aku justru tidak mau, dan sejak saat itu
aku sudah tidak minum ASI ibu lagi.
Aku
kecil, tumbuh diiringi obat-obatan. Sejak saat kejadian itu, setiap dua bulan
sekali badanku panas dan otomatis harus dibawa ke dokter. Ayah tak
pernah putus asa menjagaku, ayah tak gentar untuk melangkahkan kakinya membawa
kami berdua dalam keadaan apapun. Ternyata tidak berlangsung sebulan dua bulan
saja. Sampai aku berusia lima tahun pun masih tetap sama, hanya saja frekuensi
sakitnya yang sudah tidak terlalu sering. Aku tumbuh sebagai anak yang sangat tidak
mencintai obat, sangat menolak untuk diberi obat karena merasa jadi sangat
ketergantungan. Mulai usia 3-4 tahunan aku sudah bisa merasakan pahitnya obat,
tidak enaknya menjadi orang yang bulan-bulanannya harus berpegangan tangan dengan obat. Setiap kali panas menyerangku, aku selalu menangis karena tidak
mau pergi ke dokter.
Akhirnya pada saat itu ayah menemuka seorang dokter anak
yang bernama Dokter Budiarsa yang bisa menkalukan kerasnya aku untuk minum
obat. Kalau sakit, tidak mau kemana-mana selain ke Dokter Budi (bahkan sampai
sekarang). Tapi, sayangnya aku tetap tidak mau minum obat dalam bentuk puyer (campuran dari beberapa kapsul
obat yang dihaluskan). Pernah aku ingat sekali suatu ketika, ayah yang
memberikan aku obat. Waktu itu mau tidur, ibu memegangi tangan dan kaki ku
supaya tidak bisa bergerak sementara ayah bertugas memasukan obat itu lewat mulutku,
pada saat itu aku sontak tak bisa bergerak apa-apa lengkap seperti seorang anak
yang hendak diculik oleh dua kawanan suami istri.
bersambung...